Gotong Royong vs Wani Piro

Gotong Royong vs Wani Piro

Oleh: Sunariyo

Koordinator Divisi Riset & TI IDFoS Indonesia

 Sunariyo IDFoS

Dalam beberapa hari ke depan, pentas piala Eropa akan digelar di Perancis. Sebanyak 24 negara peserta akan mengadu strategi, fisik, konsentrasi dan keberuntungan dalam pagelaran yang dilaksanakan selama 1 bulan itu.

Tidak hanya pemain, official dan supporter pun akan berkonsentrasi untuk memberikan segala kemampuan dalam mendukung negaranya. Dengan satu tujuan, menjadi yang terbaik dalam kejuaraan elit di benua biru tersebut.

Dahsyatnya magnet gelaran sepak bola seakan menghipnotis seluruh penggemar sepak bola dunia. Bukan hanya dari negara peserta, namun pecinta sepak bola di seluruh penjuru dunia, dengan perbedaan kultur serta budaya akan dengan senangnya mendukung tim- tim favoritnya bertanding.

Baiklah….stop, kita bukan dalam rangka membahas maraknya gelaran sepak bola yang berlangsung di negara Menara Eifel tersebut. Namun kita akan mengulas semangat dalam mendukung sebuah usaha.  Usaha dalam membangun, membangun untuk kebaikan dan kemaslahatan diri sendiri, keluarga dan terlebih lagi demi kebaikan masyarakat dan negari ini, dukungan yang tanpa pamrih.

“Budaya”, bila kita mendengar kata ini, pikiran kita tentunya akan terfokus akan sebuah warisan yang melekat dan tidak terpisahkan dari sebuah negara. Karena budaya itulah ciri khas suatu bangsa dengan bangsa lainnya dapat terlihat. Dan bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa dengan keragaman budayanya yang sudah diketahui oleh dunia.

Dari keberagaman budaya yang dimiliki negara ini, gotong royong adalah salah satu budaya bangsa Indonesia yang mengandung banyak nilai-nilai positif dan terhormat di dalamnya. Bahkan karena terhormatnya, tokoh- tokoh nasional seakan tanpa ragu untuk menjadikan gotong royong sebagai kata kunci dalam mendukung dan melaksanakan suatu gagasan.

Baca juga:  “ Gotong Royong, Modal Social yang Mulai Hilang”

Gotong royong adalah sifat dasar yang dimiliki manusia Indonesia, demikian guru-guru kita semasa SD menanamkan doktrin semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Masyarakat kita sejak lama telah sadar betul bahwa sebagai makhluk sosial untuk memenuhi kebutuhannya harus melibatkan orang lain.

Searah dengan itulah, saya ingin menyoroti bahwa saat ini sudah mulai terkikisnya sifat yang mencerminkan perilaku dan ciri khas bangsa Indonesia sejak zaman dahulu itu. Sifat yang tercipta dari rasa kebersamaan yang muncul, karena adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan beban yang sedang dipikul.

Saat ini, bantu-membantu membangun rumah masih kerap kita saksikan. Tetangga sekitar dengan rela hati akan datang membantu tanpa mengharap mendapat imbalan uang. Kita hanya perlu memberitahu tetangga kita, maka dengan senang hati akan datang untuk bersama-sama mambantu mengerjakan pekerjaan kita itu.

Hanya dengan menyediakan makan dan minum serta rokok, maka dengan semangat gotong royong, akan selesailah pekerjaan itu. Bahkan hal itu dilakukan dengan sedikit mengorbankan kepentingannya sendiri. Misalnya, menunda atau meniadakan aktivitas yang sedianya harus mereka lakukan saat itu. Ketika ada acara pernikahan, khitanan, selamatan atau apapun itu, dengan senang hati tetangga akan berkumpul dan turut membantu kelancaran acara dari sebelum, saat maupun setelah usai.

Baca juga:  Program Aksi Sehat Adakan Internal Meeting

Namun, hal tersebut sedikit berbeda ketika menyangkut kepentingan umum dan berhubungan dengan program pemberdayaan yang gencar didengungkan oleh pemerintah. Contoh yang dapat kita ambil adalah, bila dulu, membangun atau memelihara fasilitas publik semacam pembangunan balai desa, tempat ibadah, pembangunan jalan desa, jembatan atau apapun yang dapat dinikmati oleh warga, masyarakat akan dengan senang hati kerja bhakti.

Asalkan warga tahu jika ada kerja bakti, warga akan datang menyumbangkan tenaga atau apapun. Bahkan apabila ada warga yang tidak ikut, ada perasaan malu kepada warga yang lain. Terbukti kegiatan gotong royong akan meringankan biaya dan lebih menyingkat waktu.

Sedikit berbeda dengan apa menjadi praktek saat ini. Saat sumber dana sudah tercukupi, justru fenomena sulitnya menggalang sumber tenaga dari semangat gotong royong yang santer terlihat dalam proses pelaksanaan program pemberdayaan bagi masyarakat.

Semua harus dengan uang, mengundang dalam forum perencanaan desa, tanpa adanya uang saku, maka peserta undangan akan segan untuk hadir. Bila pun berkenan hadir, maka ujung-ujungnya ya “wani piro”.

Pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan pembangunan fasilitas umum pun sudah jarang dijumpai dengan kerja bhakti. Semua menggunakan tenaga kerja yang harus dibayar. Bila kita cermati bersama, pelaksanaan seperti inilah menjadikan lebih banyak memakan biaya dan waktu yang lama.

Baca juga:  Program Persampahan Ikuti Pameran Hari Lingkungan Hidup

Bukannya antusias dalam mengembangkan bantuan yang diterima sehingga dapat dimanfaatkan lebih, justru dengan sikap “wani piro” itu lah rupiah yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat menjadi berkurang yang peruntukannya adalah untuk kepentingan pribadi dan perut-perut para penyantap dosa.

Pesatnya perkembangan teknologi saat ini namun belum dibarengi siapnya masyarakat, seakan ikut menyumbang dalam menggerus budaya khas Indonesia sebagai perwujudan harmoni kebersamaan dan kekeluargaan.

Kurangnya sosialisasi antarwarga dan kepekaan akan sekitar seakan menjadi bibit-bibit virus pembunuh bagi manifestasi konkret dari semangat kebersamaan antar-masyarakat dalam bantu-membantu dan tolong-menolong yang sudah terbangun ratusan tahun lalu.

Apa yang saya tulis ini hanyalah secuil peristiwa yang ditemui di daerah yang merupakan pemasok sumber daya alam bagi negara. Mungkin masih ada daerah-daerah yang masih kental melaksanakan budaya gotong royong ini.

Dan saya sangat berharap terus terjaga. Saya tidak ingin dalam beberapa puluh atau beberapa ratus tahun ke depan, gotong royong menjadi sejarah bagi anak cucu kita. Gotong royong hanyalah tinggal sebuah nama dalam sebuah cerita.

Di akhir tulisan ini, gotong royong adalah warisan budaya. Jadi lestarikanlah. Jangan sampai kebudayaan asing menjadi pembunuh kebudayaan terhormat negeri ini. Biarlah “wani piro” hanya menjadi jargon pemasaran produk dalam sebuah iklan. Jangan jadikan “wani piro” sebagai senjata menenggelamkan gotong royong ke dalam jurang kata tanpa makna. Jadi…. gotong royong Nggeh!!! (*)