Menggagas BUMDesa Inklusif

Menggagas BUMDesa Inklusif

Joko Hadi Purnomo saat memberikan pemantik diawal diskusi

BOJONEGORO – Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memikili batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisinal yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara kesatuan republik indonesia (UU No 6 Tahun 2014).

Desa juga berperan sebagai aktor peningkatan perekonomian masyarakat, maka dari itu pemerintah pusat telah menganggarkan anggaran melalui dana desa. Setiap desa berhak mendapatkan anggaran dari pemerintah pusat.

Dalam pengelolaan anggaran dana desa pemerintah pusat telah mengeluarkan PP No. 60 tahun 2014 sebagai landasan dalam sistem pengelolaannya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 16 Tahun 2018 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019, penggunaan dana desa diprioritaskan untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) adalah badan usaha yang ada di desa yang dibentuk oleh Pemerintahan Desa bersama masyarakat desa. BUMDesa hadir sebagai wadah untuk mengorganisir rakyat desa untuk meningkatkan semangat mereka dalam memperkuat dan mengembangkan ekonomi.

BUMDesa dapat meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PAD) dan memperkuat desa agar lebih berdaya, apabila BUMDesa dikelola secara benar dan didalamnya terdapat pengelola yang mempunyai kemampuan, punya semangat, kreatif dan amanah.

Baca juga:  Berbunga Lebat, Buah Kesabaran LMDH Rimba Tani Berbudidaya Kelengkeng

Dengan begitu maka tidak perlu diragukan BUMDesa akan mampu menjawab permasalahan ekonomi yang ada di masyarakat Desa.

Setiap desa pasti memiliki potensi perekonomian masyarakat yang dapat
dimanfaatkan, dikembangkan dan dioptimalkan melalui keberadaan BUMDesa, sehingga bisa memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan dan pembiayaan program pembangunan desa.

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro juga terikat dengan Suistainable Development Goals (SDG’s) terutama pada tujuan ke-8 Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi.

Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua, IDFoS Indonesia pada Rabu (10/03/2021) menggelar Diskusi Reboan yang bertema “Menggagas BUMDesa Inklusif di Kabupaten Bojonegoro”.

Tujuan dari kegiatan Diskusi Reboan ini adalah mengajak multi pihak (Dinas, OMS, Pemdes dan akademisi) untuk bekerja sama dalam hal meningkatkan ekonomi Desa yang inklusif dan berkelanjutan serta menyusun inisiatif model yang nyata untuk BUMDesa Inklusif.

Kenapa kita menggagas dengan nama inklusif? Karena yang dirasakan masyarakat BUMDes sekarang ini eksklusif sifatnya atau hanya bisa diakses oleh orang pemerintah desa saja. Seperti akses informasi akses bisnisnya atau akses permodalannya.

Diskusi berlangsung di Ruang Pertemuan Rusunawa NU, Jl. A. Yani, Sukorejo, Kabupaten Bojonegoro

Diskusi kali ini dilakukan secara offline, bertempat di Ruang Pertemuan Rusunawa NU, Jl. A. Yani, Sukorejo, Kabupaten Bojonegoro. Dengan tetap menerapkan protokol pencegahan Covid-19 dan physical distancing.

Sebanyak 25 peserta hadir dalam diskusi tersebut. Di antaranya berasal dari Pemerintah (Dinas, Kepala Desa), OMS, praktisi bisnis, BUMDesa, Akademisi, Pilantropi serta Perbankan.

Baca juga:  Sukses, Musdes Program Patra Daya Desa Gayam

Direktur IDFoS indonesia Joko Hadi Purnomo memberikan pemantik diawal acara. Joko mengatakan, “BUMDes didesain untuk membangun kesejahteraan. Artinya apa? Bumdes itu menjadi semacam inspirasi atau menjadi networking bagi usaha-usaha di masyarakat”, paparnya.

“Dimana-mana bisnis itu Isinya hanya ada owner dan pelaksana. Tapi di BUMDes ini ada owner, pelaksana dan politik”, tambahnya.

Dalam BUMDesa ada potensi-potensi, peluang-peluang dan tantangan yang luar biasa. Berdasarkan temuan di lapangan ada permasalahan di BUMDes baik itu di pemerintahannya, tata kelolanya, SDM serta di bisnis. Jadi, ada beberapa BUMDesa yang sudah membentuk, sudah musdes, tapi setelah dibentuk tidak tahu mau bisnis apa. Bisnis berdasarkan potensi ataukah berdasarkan peluang yang ada.

Disamping itu, bentuk dari inklusif salah satunya adalah bagaimana setiap orang mendapat perlakuan yang sama baik di bisnis dan dikontrolnya. Misalnya, bagaimana masyarakat bisa dilibatkan didalamnya dengan cara investasi di BUMDesa yang tidak hanya didominasi oleh  pemerintah saja.

Baca juga:  Diskusi Reboan: Perlunya Regulasi Perbup TJSP

Usai paparan dari Direktur IDFoS Indonesia, dilajutkan dengan prolog pemantik oleh Mustakim (PA TPP P3MD Kabupaten Bojonegoro). Dia menuturkan, tantangannya sekarang adalah, di antaranya memang secara umum itu adalah tantangan politik.

Menurut dia, banyak fenomena terjadi di desa-desa itu. Misalnya, direzim A itu menjadi pimpinan BUMDesa. Tetapi, di rezim berikutnya tidak dikontrol, tidak disuntik dana sehingga tidak jalan bumdesnya.

“Ada yang memang langsung diganti dengan orangnya kepala desa yang baru dan itu tidak pakai pertimbangan profesionalitas”, jelasnya.

Kemudian dilanjut dari Dinas PMD, Agus Salim. Dalam prolognya, dia berpendapat, kenapa ada pasang surut di BUMDesa? Kadang sudah dibentuk dan aktif kemudian tidak aktif.

“Saya berpendapat bahwa pemilihan usaha mereka yang tidak didukung oleh potensi desa itu. Jadi sebetulnya BUMDesa itu harus disokong sebagai usaha yang ada keberlanjutannya. Jadi pihak BUMDesa diusahakan untuk mengidentifikasi potensi desa apa yang bisa dijadikan unit usaha,” ungkapnya. Pola bisnisnya secara umum mengikuti tren.

Kemudian, salah satu peserta diskusi dari pelaku BUMDesa juga menyampaikan bahwa sistem keuangan sangat penting. “Namun, untuk sistem neraca ini kita masih kurang.  Artinya masih kurang ini begini, jadi tidak semua BUMDesa dan pengurusnya bisa melakukan atau mengoperasikan sistem necara tersebut,” ujarnya. (ika/yok)