Perlunya Kebijakan Pelayanan Sampah yang Terintegrasi
Pada Rabu (09/09/2020) lalu, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-21 IDFoS Indonesia, lembaga ini menggelar Diskusi Reboan terkait sampah domestik. Diskusi bertemakan “Perumusan kebijakan pelayanan sampah yang baik, bertanggung jawab, dan terintegrasi di Kabupaten Bojonegoro (tingkat Kabupaten sampai tingkat Desa)”.
Diskusi bertujuan mengajak multipihak seperti Pemerintah, OMS, dan akademisi untuk bekerja sama dalam peningkatkan pelayanan pengelolaan sampah. Hingga adanya masukan dan kritikan dari multipihak yang membangun dan dapat mengatasi permasalahan sampah di Bojonegoro.
Ada 21 undangan yang turut hadir sebagai peserta aktif yaitu dari Dinas Lingkungan Hidup, DPMPD, PU SDA, Bappeda, Sekdes Gayam, Kades Ledok Kulon, Unugiri, Fospora, Green Star, Elsal, Ploso Jenar, Bojonegoro Institute, VCDI, PD Muhammadiyah Bojonegoro, dan IDFoS Indonesia selaku host.
Berlangsung di Creative Room Lantai 6 (Enam) Gedung Pemkab Bojonegoro, acara dimulai pukul 09.45 WIB dan berakhir pada 12.34 WIB.
Berdasarkan Perda Bojonegoro Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sampah Bab III Pengelolaan Sampah Pasal 5 ayat 1 berbunyi “Pengelolaan sampah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.” Konsekuensi dari dua peraturan tersebut, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro berkewajiban untuk memberikan pelayanan sampah bagi warganya dengan baik dan bertanggung jawab.
Joko Hadi Purnomo, selaku Direktur IDFoS Indonesia menuturkan, layanan sampah tidak hanya menyediakan sarana, tapi juga membangun kesadaran masyarakat.
Masalah sampah, lanjut dia, sangatlah kompleks, baik terkait sarana prasarana, teknis, tenaga pengelola maupun kesadaran warga. Tingkat pengetahuan dan pemahaman warga di Kabupaten Bojonegoro tentang dampak buruk sampah masih kurang.
Faktanya Volume sampah domestik yang dihasikan rumah tangga rata-rata 2,5 liter/hari, sehingga terdapat 1.109.200 liter/hari yang terdiri dari sampah organik dan non arganik.
Masalahnya adalah, rumah tangga pada umumnya tidak melakukan pengelolaan sampah dengan prinsip 3 R (Reduce, Reuse, Recycle). Rumah tangga membuang sampah di pekarangan, tidak begitu dipersoalkan apabila sampahnya organik.
”Namun, menjadi permasalahan pada sampah non organik, apabila sampahnya dibakar, ataupun dibuang ke sungai. Karena akan berdampak buruk pada lingkungan yaitu meningkatkan emisi dan micro plastic,” ujarnya.
Kabupaten Bojonegoro memberikan pelayanan sampah kepada rumah tangga dengan menyediakan TPS (Tempat Penampungan Sementara) di Kota Bojonegoro sebanyak 15 unit, dan 27 TPS di setiap kecamatan.
Tetapi jumlah tersebut tidak memadai, karena idealnya per 1.000 rumah tangga ada 1 TPS. Untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa Pemerintah Desa membangun TPS mandiri.
Namun masalahnya sebagian besar TPS tersebut juga tidak berfungsi. Beberapa faktor penyebab antara lain TPS tidak dilengkapi dengan fasilitas seperti tenaga pengelola TPS, layanan angkutan dari rumah tangga ke TPS, ataupun sosialisasi tentang pengelolaan sampah rumah tangga, serta TPS mandiri tidak terkoneksi dengan layanan pengelolaan sampah Pemerintah Bojonegoro.
Sebagai contoh, di Desa Trucuk Kecamatan Trucuk dan Desa Kedungbondo Kecamatan Balen TPS Mandiri kesulitan membuang sampah ataupun residu sampah karena tidak terkoneksi dengan layanan sampah (tidak ada pengambilan sampah) TPA Banjarsari.
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di Kabupaten Bojonegoro sebanyak 2 unit yaitu TPA Banjarsari dan TPA Bandungrejo (proses pembangunan). TPA Banjarsari menggunakan sistem angkut buang atau biasa yang disebut Open Dumping.
Luas TPA Banjarsari ± 4,75 Ha. Sampah yang masuk ke TPA ± 250m³/hari. TPA Banjarsari memiliki daerah cakupan pelayanan 6 kecamatan antara lain Dander, Sumberejo, Kapas, Bojonegoro, Kalitidu, Trucuk.
Cakupan tersebut terlalu luas karena tidak sesuai dengan rasio pelayanan TPA sebesar 1 TPA dibanding 3 Kecamatan yaitu Trucuk, 39.645 Jiwa, Kapas 55.329 Jiwa dan Bojonegoro 55.329 jiwa. Dampaknya terjadi penumpukan sampah.
Masalah lain, sampah yang diangkut ke TPA masih bercampur dengan sampah-sampah yang dapat digunakan (reuse) ataupun didaur ulang (recycle). Seharusnya sampah yang masuk di TPA adalah sampah yang benar-benar tidak dapat digunakan, ataupun didaur ulang.
Persoalan terkait sampah domestik di Kabupaten Bojonegoro ini sejalan dengan tujuan SDG’s (Suistainable Development Goals) terutama pada tujuan ke-3 “kesehatan yang baik dan kesejahteraan” dan ke-11 “kota dan komunitas yang berkelanjutan”.
Hasil dari diskusi terfokus tersebut adalah, pertama, perlunya membangun kemitraan antara pemerintah dengan civil society. Kedua, menyusun Kebijakan strategis yang lebih konkrit. Ketiga, melakukan edukasi sejak dini terkait persoalan sampah. Keempat, membangun kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, misalnya saat kumpulan ibu-ibu PKK dianjurkan agar melakukan pemilahan sampah.
Kesadaran kita terkait kesehatan sangat tinggi dan baik dimasa pandemi ini. Semoga menjadi peluang untuk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat terkait sampah. (ika/yok)