Inovasi Tidak Harus Berbasis TI
Inovasi Tidak Harus Berbasis TI
Oleh : Dwi Arianti, Staff Divisi Riset dan TI IDFoS Indonesia
Kabupaten Bojonegoro patut berbangga diri menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia dalam komitment internasional untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang terbuka, akuntabel, dan inovatif dalam Open Government Partnership (OGP). Prestasi ini mengalahkan wakil lain seperti Aceh, Jakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
OGP adalah sebuah gerakan bersama pemerintah dengan masyarakat untuk mewujudkan keterbukaan pemerintah Indonesia dan percepatan perbaikan pelayanan publik di Indonesia.
Mengutip pernyataan Bupati Bojonegoro Suyoto, secara mudah, Open Government adalah bagaimana menciptakan pemerintahan yang terbuka, akuntabel. Sehingga, menciptakan partisipasi masyarakat. Pemerintah yang transparan dan akuntabel akan menimbulkan trust di masyarakat sehingga partisipasi yang diinginkan, baik dalam bentuk masukan, apresiasi, dan kritik melalui mekanisme yang telah ditentukan akan terjadi.
Pemkab Bojonegoro melalui jajaran satkernya telah bekerja keras untuk membuat berbagai saluran untuk membuka informasi tersebut. Dinas Kominfo, misalnya, telah menginisiasi website di setiap desa di Bojonegoro sebagai sistem infomasi yang ada di desa.
Selain itu, melalui PPID masyarakat juga dapat dengan mudah mengetahui infomasi yang diinginkan di tingkat kabupaten.
Yang agak berbeda juga telah dilakukan oleh Pemkab Bojonegoro, dengan menginisiasi kegiatan Dialog Publik sebagai sarana untuk menyampaikan masukan, kritikan, pertanyaan kepada pemkab yang dilakukan di pendopo kabupaten setiap hari Jumat.
Pada saat dilakukannya rapat koordinasi membahas tindak lajutan pelaksanaan OGP di Bojonegoro beberapa waktu yang lalu, salah seorang peserta mengungkapkan, pelaksanaan OG perlu didorong untuk dilakukan di tingkat paling bawah, yakni desa.
Penulis juga sependapat dengan masukan tersebut. Ibaratnya, desa adalah elemen paling bawah yang terdiri dari kumpulan populasi penduduk yang menjadi subjek sekaligus objek dari pembangunan. Ilustrasinya bagaimana jika sebuah kabupaten dikatakan maju namun ternyata masyarakat desanya masih belum sejahtera?
Menurut penulis, sangat ideal jika setiap pelaksanaan sebuah kebijakan secara menyeluruh hingga di tingkat desa, lalu bagaimana sejauh ini pelaksanaan Open Government di tingkat desa? Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 pasal 86, setiap Desa berhak mendapatkan akses informasi melalui sistem informasi desa yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam konteks mewujudkan pemerintahan yang terbuka, sistem informasi desa tersebut dapat menjadi salah satu saluran untuk mewujudkan keterbukaan tersebut. Pemkab Bojonegoro telah membuat website desa sebagai sistem informasi desa yang didalamnya memuat informasi terkait profil desa, dan transparansi anggaran.
Namun, khusus untuk transparansi anggaran yang memuat informasi tentang keterbukaan anggaran di desa, belum semua desa mau buka-bukaan soal uang dan penggunaannya. Itu menurut klaim salah seorang relawan teknologi informasi di Bojonegoro.
Jika ditinjau lebih jauh, sistem informasi desa yang berbasis teknologi seperti website dirasa cukup komprehensif untuk memuat semua informasi yang ada di desa. Semua data bisa masuk dan mengaksesnya pun cukup mudah. Bahkan, bisa diakses dengan mengunakan telepon genggam sambil tiduran, dengan syarat harus terkoneksi dengan internet.
Menurut penulis, selain berbasis teknologi tinggi, pemerintah juga harus menyediakan sarana penyedia informasi yang lebih sederhana dan mudah dibaca oleh masyarakat. Ilustrasinya, jika informasi tersebut disimpan di dalam website, orang yang membutuhkannya lah yang akan membuka, dan mencari informasi yang dibutuhkan.
Lalu yang tidak memerlukan ya tidak akan membuka dan mencari tahu dan akhirnya tetap tidak tahu dan ujungnya tetap acuh terhadap penyelenggaraan pemrintahan dan tidak adanya partisipasi. Oleh karena itu, diperlukan sarana infomasi yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat yang berbasis masyarakat lokal yang tanpa teknologipun informasi tersebut dapat diketahui.
Salah satu komponen standart OGP adalah adanya inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama sebagai saluran untuk mewujudkan keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Inovasi di sini tidak melulu menekankan pada pemanfaatan IT, menengok contoh salah satu kabupaten di Jawa Tengah, yakni Kabupaten Batang yang membuat inovasi dengan Festival Anggarannya.
Pemerintah Kota Batang membuat festival untuk buka-bukaan soal anggaran dan peruntukannya, siapa pun bisa datang dan melihat bagaimana penggunaan anggaran di Kabupaten Batang dengan diselingi kegiatan lainnya seperti hiburan rakyat, cukup inovatif bukan! Bukan sekedar lisan.
Bojonegoro bisa mencontoh hal tersebut. Misalnya, dialog publik yang biasanya diselenggarakan setiap hari Jumat di pendopo pemkab, bisa digeser untuk dilakukan di desa-desa, yang langsung dipimpin oleh kepala desa. Kira-kira bagaimana?
Hal yang lebih sederhana lagi, dengan mempublikasikan informasi terkait rencana pembangunan, keuangan, anggaran dan penggunaan di lokasi lokasi strategis di desa. Misalnya, digeber banner yang berisi informasi tentang anggaran dan penggunaan dana di desa, dan informasi lainnya.
Tidak bisa dipungkiri masalah uang adalah hal yang cukup sensitive untuk dibahas. Apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak, uang rakyat. Sehingga, jika dalam pelaksanaanya penggunaan dan pemanfaatan dipublikasikan secara terang-terangan, akan membawa dampak yang luar biasa. Trust yang menjadi tujuan adanya transparansi akan tercipta. Sehingga, akan muncullah partisipasi dari masyarakat seperti konsep yang diusung dalam Open Government Partnership. (*)