Pandemi dan Fenomena Pernikahan Dini

Pandemi dan Fenomena Pernikahan Dini

Pandemi dan Fenomena Pernikahan Dini

Oleh :Dwi Wijayanti

Divisi Riset dan TI – IDFoS Indonesia

wijayantid028@gmail.com / ig: @dwi96

Sudah hampir dua tahun dunia menghadapi pandemi beserta masalah yang ditimbulkan olehnya, tak terkecuali pernikahan di bawah umur. Lazimnya menurut UU Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 Ayat 1 bahwa seorang pria dan wanita diperbolehkan menikah jika usia mereka sudah mencapai minimal 19 tahun.

Dalam banyak kasus terdapat pria atau wanita yang menikah di bawah umur 19 tahun. Inilah  yang kemudian banyak disebut sebagai “Pernikahan Dini” atau Pernikahan di bawah umur. Dilansir dari Kompas.com bahwa jumlah pengajuan pernikahan di bawah umur selama pandemi sebanyak 64.000. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi.

Baca juga:  Pandemi dan Urgensi Kerjasama Antar Stakeholder dalam Pendidikan

Di era yang serba digital ini para orangtua harus ekstra waspada dalam mengawasi penggunaan alat digital oleh anak mereka, apalagi pada masa pandemi ini banyak hal yang dilakukan secara online atau daring melalui internet. Karena hal ini dapat menjadi salah satu masalah yang menyebabkan pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur.

Hal yang mungkin saja terjadi jika pengawasan orangtua sedang lengah adalah penggunaan alat digital yang tidak seharusnya dilakukan oleh anak seperti menonton film atau video yang tidak pantas serta berhubungan dengan orang yang tidak pantas melalui media sosial.

Padahal menikahkan anak yang belum berumur 19 tahun sangatlah tidak mudah, harus melalui proses sidang dalam meminta dispensasi untuk menikah dan biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Pada kenyataannya dampak yang ditimbulkan dalam kehidupan nyata juga tidak dapat dihindari.

Baca juga:  #Giveaway8

Seorang anak yang belum cukup umur untuk menikah pada dasarnya mereka belum siap menikah walau tanpa mereka sadari. Hal inilah yang menyebabkan masalah atau persoalan dalam rumah tangga kerap terjadi dan sukar untuk mereka tangani. Mereka belum memiliki pemikiran yang matang untuk memecahkan permasalahan sehingga masalah tersebut kian membesar dan terjadi perceraian.

Dalam fenomena di masyarakat seorang laki – laki yang belum siap untuk mengurus keluarga kecilnya cenderung tidak bertanggung jawab seperti tidak memiliki keinginan untuk bekerja, masih melakukan kebiasaannya saat muda yakni nongkrong di warung kopi hingga larut malam. Hal ini kerap terjadi hingga pasangan tersebut memiliki anak dan kebiasaan tersebut masih berlanjut, sehingga yang mengurus kebutuhan keluarganya kembali lagi ke orang tua masing-masing. Tidak menutup kemungkinan pernikahan dini menyumbang dalam tingginya angka perceraian di Indonesia.

Baca juga:  #Giveaway6

Himbauan kepada para orangtua perlu disampaikan untuk memberikan pengertian bahwa menikah dini memberikan dampak buruk bagi yang melakukan dan orang-orang sekitarnya. Alangkah baiknya jika pemerintah mendukung hal tersebut dengan memberikan penyuluhan atau pembelajaran kepada orang tua dan anak sejak dini. Edukasi kepada orangtua juga perlu agar orangtua mengerti apa yang seharusnya boleh dan tidak dilakukan oleh anak mereka sehingga tidak terjadi salah asuh. (yok)