Menjaga Kesinambungan Semesta dan Manusia
Menjaga Kesinambungan Semesta dan Manusia
Joko Hadi Purnomo, Sholeh Hilmi Qosim
Krisis iklim yang terjadi secara global semakin menunjukkan eksistensinya belakangan ini. Terhitung sejak 1880, rata-rata suhu di bumi telah meningkat sebesar 1,1 derajat celsius. Bahkan akan mencapai titik kritis sebesar 1,5 derajat celsius sebagai rata-rata suhu di bumi hanya dalam jangka waktu lima tahun mendatang (Kompas, 5 Juni 2023). Krisis ini memerlukan upaya yang tepat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, sebab tanpa ada solusi yang jitu bumi ini hanya akan semakin sulit untuk ditinggali.
Angka Tinggi Deforestasi
Salah satu penyebab tingginya kenaikan suhu rata-rata bumi adalah adanya deforestasi besar-besaran pada segenap hutan di penjuru dunia, utamanya juga terjadi di Indonesia. Angka deforestasi di Indonesia sendiri mencapai puncak tertinggginya pada periode 1996-2000 dengan luas lahan yang mengalami deforestasi sebesar 3,51 juta hektare per tahun. Selama kurun 1967-1998, hutan hujan tropis di Indonesia mengalami eksploitasi besar-besaran melalui Hak Pengusahaan Hutan oleh sekitar 600 perusahaan di areal hutan seluas 64 juta hectare.
Dampak deforestasi besar-besaran paling marak dialami oleh penduduk lokal yang bermukim di pesisir kawasan hutan. Para penduduk lokal ini acap kali mengalami musibah seperti banjir bandang dan tanah longsor yang notabene merupakan dampak jangka panjang yang terjadi akibat deforestasi yang dilakukan oleh korporat-korporat besar. Nahasnya lagi, justru para penduduk setempat ini amat sedikit mengambil kebermanfaatan dari sumber daya yang tersedia di hutan. Perlu ada edukasi lebih lanjut bagi masyarakat setempat agar mereka mampu memanfaatkan sumber daya hutan dengan tetap mempertimbangkan kelestarian alam yang mereka tinggali.
Menjajaki Agroforestri sebagai Solusi
Gagasan yang amat kompatibel dengan kondisi masyarakat di pesisir kawasan hutan dengan tujuan pelestarian hutan tetapi tetap mampu mengambil kebermanfaatan ekonomi adalah melalui program Agrosilvopastura-Fishery. Program Agrosilvopastura-Fisherys adalah cabang dari pola tanam campuran, agroforestry. Sebuah sistem penggunaan lahan usaha tani yang mengombinasikan pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan. Agrosilvopastura-Fishery sendiri merupakan kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan serta perikanan (Bernatal Saragih, 2021: 9).
Program Agrosilvopastura-Fishery menjadi sangat efisien karena paling tidak ia memiliki empat pola pemanfaatan dalam mengelola lahan kritis dengan membagi lahan untuk pemanfaatan kehutanan, pertanian, peternakan, dan perikanan pada saat bersamaan. Pertama, upaya pelestarian hutan dengan cara menanam tanaman kehutanan dan Multi Purposes Tree Species (MPTS). Tanaman kehutanan ini perlu utuk digalakkan sebagai upaya restorasi hutan secara alami. Beberapa jenis tanaman kehutanan yang bisa ditanam adalah pule, sono keling, hingga beringin. Jenis-jenis tanaman tersebut diharapkan mampu mengembalikan ekosistem yang ramah huni bagi satwa lokal. Dampak lain yang dibawa serta dengan penanaman jenis tersebut adalah usaha kecil jangka panjang untuk pengurangan emisi karbon. Sementara tanaman MPTS berdaya ekonomi yang mampu untuk diterapkan adalah seperti kemiri, jambu citra, petai, alpukat, kelengkeng, hingga kopi. Tentu pengimplementasian jenis tanaman tersebut harus memperhitungkan keadaan jenis lahan hutan serta kondisi alamiah bagi para satwa lokal.
Kedua, pemanfaatan lahan hutan kritis dengan menanam tanaman jangka pendek, seperti pisang dan pepaya. Dua jenis tanaman ini dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat di pesisir kawasan hutan. Ketiga, memanfaatkan lahan kritis hutan untuk aktivitas ekonomi melalui sektor pertanian. Tanaman holtikultura seperti cabai, terong, dan jagung adalah jenis tanaman yang bisa untuk ditumbuhbiakkan di kawasan ini. Serta hasil pertanian dari tanaman ini lagi-lagi mampu membawa profit materi bagi masyarakat pesisir kawasan hutan.
Keempat, memanfaatkan lahan kritis hutan untuk sektor peternakan. Dengan diseminasi dan penyuluhan nilai-nilai dan tata cara budidaya ternak yang efektif dan efisien, masyarakat pesisir kawasan hutan akan mampu untuk menjalin sinergitas antara manusia, hewan, dan alam. Masyarakat pesisir kawasan hutan diharapkan mampu melakukan budidaya hewan demi kelangsungan hidup mereka pribadi.
Penyatuan Antarsektor Demi Menggalakkan Program
Program Agrosilvopastoral-Fishery sebagai program gotong royong paling tidak harus melibatkan beberapa sektor antara pembuat kebijakan, para relawan, dan masyarakat sasaran. Program Agrosilvopastoral-Fishery sudah dijalankan di Ngasem, Bojonegoro. Pelaksanaan program ini telah melibatkan 6 stakeholders, antara lain: pihak regulator diwakili oleh Bappeda Bojonegoro, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, DPMD Bojonegoro, Pemdes Ngasem, Instansi Pemerintah Kecamatan Ngasem, CDK Bojonegoro, dan Kemenag Bojonegoro; sektor swasta dihadiri oleh Perhutani KPH Bojonegoro, PEPC, BSI Bojonegoro; instansi perguruan tinggi diikuti oleh Unigoro, Unugiri, dan Mapena Poltana; pihak pers diramaikan oleh SBU, SuaraDesa, dan Radar Bojonegoro; pihak Civil Society Organizations (CSO) dengan partisipannya adalah IDFoS, LPBINU, LAZISNU, LAZISMU, LAZ NH, dan Pemuda LDII. Serta dari pihak penerima manfaat yaitu segenap Keluarga LMDH Ngasem Barokah.
Bentuk konkret dari sepemahaman antarsektor adalah para pihak memiliki peran dan kontribusi masing-masing sesuai dengan kapabilitasnya sendiri-sendiri. Pihak regulator seperti Dinas Peternakan dan Perikanan memberikan dukungan berupa bibit rumput odot dan ikan nila, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan memberikan dukungan berupa penggunaan alat pertanian, Kantor Kemenag Bojonegoro memberikan bantuan berupa bibit pisang cavendis dan sembako sebagai bagian dari penyaluran zakat, serta CDK Bojonegoro yang memberikan dukungan bibit pohon.
Dari pihak swasta dalam hal ini seperti Pertamina EP Cepu memberikan dukungan berupa sumbangan budidaya peternakan dan perikanan, Perhutani KPH Bojonegoro memberikan hak izin usaha penggunaan di petak 52, dan BSI Bojonegoro memberikan dukungan berupa pendidikan keuangan berbasis keluarga. Sedangkan dari sektor instansi perguruan tinggi berkontribusi melalui hal akademik seperti Unigoro memberi dukungan riset untuk melakukan pengukuran kandungan hara dan Mapena memberikan dukungan berupa pendampingan budidaya ternak.
Pihak CSO berpartisipasi melalui donasi bahan-bahan untuk pengembangan. Partisipasi CSO ini berupa bantuan bibit pisang cavendis dan sembako sebagai penyaluran zakat dari Lazisnu Bojonegoro, bibit pepaya Taiwan, pupuk kompos, dan sembako sebagai penyaluran zakat dari Lazismu Bojonegoro, bantuan bibit jagung dan sembako sebagai penyaluran zakat dari LAZ Nurul Hayat, serta dukungan bibit pohon, benih ikan, pendampingan dan pembuatan demlot berkelanjutan dari IDFoS.
Peran selanjutnya adalah dari pihak pers. Pihak pers melakukan dukungan berupa sosialisasi dan pemberitaan ke masyarakat luas seperti yang dilakukan oleh SBU, Radar Bojonegoro, dan SuaraDesa. Peran terakhir adalah penerimaan bantuan oleh pihak penerima yaitu, LMDH Ngasem Barokah. Peran terakhir yang dimainkan oleh penerima menjadi hal yang paling vital. Sehingga apa pun bantuan yang diberikan perlu memperhatikan kebutuhan dan kemampuan dari pihak penerima.
Keenam stakholders ini memiliki satu pemahaman dengan dikukuhkan melalui penandatanganan MoU khususnya antara CSO dan perguruan tinggi. Sementara dari pihak regulator memilih menggunakan penandatanganan berita acara sebagai instrumen kesepemahaman, dan sektor swasta memilih Perjanjian Kerja Sama (PKS) sebagai komitmen kesepakatan. Menyatukan kesepemahaman antarsektor diperlukan agar program kerja yang dicanangkan bisa tereksekusi secara berkelanjutan. Mengingat ada banyak sektor yang dilibatkan berarti ada lebih banyak tenaga dan sumber daya untuk menyukseskan kelangsungan program kerja. (Jok/Sho)